Berita
Ridwan Kamil Ternyata Cucu Dari Ulama Besar NU Asal Garut, KH Muhyiddin
40x Dilihat
- Komentar
Pameungpeuk, GAPEGAS.COM – Ridwan Kamil anak kedua dari lima bersaudara. Bapaknya orang Sumedang, ibunya orang Tasikmalaya. Kakek dari bapak saya orang (Kecamatan) Banyuresmi, kakek dari ibu orang (Kecamatan) Limbangan, Garut.
Masyarakat Sunda biasa memanggilnya Mama Pagelaran. Tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, ulama ini pun turut serta dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia. Dialah KH Muhyiddin.
Pendiri delapan pesantren itu mulai berjuang sejak zaman penjajahan Belanda di Tanah Air. Sepanjang hayatnya, ia ikut berkiprah dalam merintis, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya tersebar di sejumlah wilayah Provinsi Jawa Barat, termasuk Subang, Purwakarta, dan Sumedang.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, ulama karismatik tersebut lahir di Garut, Jawa Barat, pada tahun 1878 M. Tanah kelahirannya berada di Kampung Banyuresmi. Ia adalah putra dari pasangan suami-istri, Ahmad Narif dan Eno.
Sejak berusia anak-anak, spirit pembelajar telah terpatri dalam dirinya. Ketertarikannya untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman pun mulai terbentuk. Untuk belajar agama lebih dalam, ia pun nyantri di beberapa pesantren di daerah Garut. Pesantren terakhir tempatnya menimba ilmu adalah milik KH Abdul Hamid. Di kemudian hari, seorang putri Kiai Abdul Hamid menjadi istrinya.
Masyarakat Muslim setempat sangat mendambakan hadirnya sosok yang mengerti tentang agama Islam dan mampu mengajarkannya. Karena itu, lulusnya Muhyiddin muda dari pengembaraan intelektualnya di pesantren-pesantren disambut gembira. Ia menjadi seorang tokoh panutan. Bersama dengan mertuanya, dirinya berdakwah di tengah umat, khususnya para warga yang masih sangat awam akan ajaran agama.
Sebagai seorang mubaligh, Kiai Muhyiddin berprinsip menebar maslahat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). Sebab, itulah sifat agama ini. Dengan cara demikian, dirinya mampu menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Keberhasilan dakwahnya di daerah Garut rupanya menggaungkan reputasinya hingga ke daerah Sumedang.
Profilnya menarik perhatian seorang bupati Sumedang, yang lantas memintanya untuk hijrah ke daerah tersebut. Kiai Muhyiddin menyanggupi permintaan itu. Ia berharap bisa turut mengubah kondisi masyarakat Sumedang menjadi lebih baik.
Sekitar tahun 1893, dia mulai pindah ke sana, tepatnya kawasan Cimalaka. Ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam, yakni Pondok Pesantren Cimalaka. Dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, pesantren tersebut kian berkembang pesat. Jumlah santrinya pun bertambah banyak.
Setelah 25 tahun berdakwah dan mengajar di Cimalaka, Kiai Muhyiddin kemudian berencana untuk pindah ke daerah lain. Masih dengan tujuannya, mengembangkan dakwah Islam dan menyebarkan ilmu-ilmu agama. Pada 1918, ia memboyong keluarganya untuk hijrah ke Desa Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Cimeuhmal dulu berbeda dengan yang sekarang. Daerah tersebut kala itu mayoritasnya masih berupa hutan belantara. Lantas, Kiai Muhyiddin dengan dibantu sejumlah pengikutnya membabat hutan tersebut secara terukur untuk membuka lahan baru. Di sanalah, ia membangun sebuah lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Pesantren Pagelaran I.
Berdiri pada 1920, Pesantren Pagelaran 1 sempat ramai dipenuhi santri-santri. Mereka berdatangan dari berbagai daerah, baik dalam maupun luar Jawa Barat.
Akan tetapi, keberadaannya sempat ditutup karena kekacauan yang timbul pascarevolusi kemerdekaan di Tanah Air. Terlebih lagi, Jawa Barat terimbas agresi militer yang dilancarkan Belanda. Barulah beberapa tahun kemudian, pesantren tersebut dapat dibuka kembali oleh seorang putri Kiai Muhyiddin, Hajjah Endeh Hayati.
Aktif berjuang
Sosok KH Muhyiddin yang merupakan salah satu pejuang dan dianggap sosok berpengaruh dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah satu pemimpin yang ikut serta melakukan penyerangan terhadap Sekutu di Bandung Utara pada masa revolusi.
Dalam dakwahnya, ia selalu mengajak rakyat untuk menentang setiap bentuk penjajahan, termasuk yang dilakukan Belanda atas Bumi Pertiwi. Karena itu, ia pun sempat ditahan oleh pemerintah kolonial pada 1939. Dia ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung, bersama dengan tokoh nasionalis terkemuka, Ir Sukarno. Selama menjadi narapidana, keluarga dan santri-santrinya tetap setia melanjutkan perjuangan kemerdekaan.
Setelah proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, KH Muhyiddin kemudian membentuk pasukan Hizbullah Pagelaran. Laskar itu terdiri atas kalangan santri, alumni santri, jamaah pengajian, dan masyarakat Subang umumnya.
Mereka dengan semangat jihad yang begitu berkobar ikut terlibat dalam berbagai aksi perjuangan. Misalnya, penyergapan konvoi tentara Nederlands Indie Civil Administration (NICA) di Ciater. Itu dilakukannya bersama dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Besarnya peran Kiai Muhyiddin dalam sejarah bangsa menggerakkan pelbagai pihak. Mereka mengharapkan, sang kiai dapat diakui negara sebagai salah satu pahlawan nasional. Dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu, guru besar ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis mengatakan, tokoh tersebut tergolong ulama pejuang. Perannya tak mungkin dinafikan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan RI.
“Tidak hanya bergabung dengan Hizbullah, KH Muhyiddin pun menjadikan Pesantren Pagelaran I (Tanjung Siang) sebagai markas pelatihan dan penggemblengan mental para pejuang Hizbullah,” ujar Prof Nina H Lubis.
Tak hanya itu, Kiai Muhyiddin juga pernah memimpin pasukan yang lebih besar. Mereka bermarkas di Ciwakari, bersama dengan sepasukan BKR yang dipimpin Kolonel Sukanda Manggala Brata. Mubaligh tersebut mengarahkan santri-santrinya untuk ikut berjuang melawan bangsa asing yang hendak menjajah kembali Tanah Air.
